MASA AWAL KERAJAAN BUTON


Kerajan Buton yang oleh penduduk disebut Wolio, terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil dan yang utama ialah :
  1. Pulau Buton yang dipisahkan oleh Laut Buton, pada masa lalu dengan nama Selat Flaming, dengan daratan Pulau Sulawesi;
  2. Pulau Muna yang disebut Wuna oleh pneduduk dan dimasa lalu dengan Pancana, sebelah Barat dari Pulau Buton;
  3. Pulau Kabaena dan beberapa pulau kecil lainnya masing-masing: Tobea terletak di Selat Tiworo, Pulau Makassar yang sesungguhnya adalah Liwuto Makasu oleh penduduk Kerajaan terletak didepan Bau-Bau, Kadatua, Siompu, kemudian Talaga sebelah Selatan Pulau Kabaena;
  4. Wakatobi pada ,asa lampau dengan nama Kepulauan Tukang Besi terdiri dari Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko;
  5. Poleang Bugis, Marunene dan Rumbia pada daratan Pulau Sulawesi, yang dibatasi paada sebelah Barat daerah Kerajaan Luwu dan pada Sebelah Utara oleh Laiwui serta Timur oleh Laut Tiworo.
Penduduk Kerajaan seluruhnya memeluk agama Islam, namun setelah masuknya Belanda dalam tahun 1906, terdapat pula beberapa banyak penganut agama lain seperti Kristen. Pencarian penduduk dapat dibagi dalam tiga golongan besar yaitu petani, pedagang, nelayan sedangkan golongan pedagang kerajaan ialah kaum bangsawan dan walaka, berasal dari keturunan Sibatara dan Wa Kaa Kaa bagi kaum bangsawan dan keturunan Sipanjonga bagi kaum Walaka.

Jumlah penduduk kerajaan dalam tahun 1877 tidak lebih dari 100 ribu jiwa dan pada akhir tahun 1977 yaitu 100 tahun sesudahnya menjadi 306308 jiwa, diluar daerah Kabupaten Muna. Tentang stuktur kemasyarakatan dapat disebutkan bahwa penduduk kerajaan terdiri atas tiga golongan yang disebutkan :
1. kaum bangsawan yaitu lalaki;
2. kaum walaka dan
3. kaum papara
bahasa daerah dapat dikatakan pada setiap bagian desa terdapat adanya bahasa suku, namun yang menjadi bahasa kerajaan adalah bahasa wolio, sedangkan bahasa itu terdapat puluhan bahkan tidak kurang dari pada 200 bahasa suku.
Dari sekian banyaknya dapat dibagi dalam empat kelompok yang utama masing-masing :
1. Bahasa Wuna;
2. Bahasa Cia-Cia;
3. Bahasa Tolaki dan
4. Bahasa Wolio

Hutan-hutan terdapat di daratan Buton dan Kabaena serta Poleang, Rumbia dan Marunene, dimana tumbuh banyak kayu-kayuan yang berharga yang dijadikan ramuan rumah bagi penduduk kerajaan antara lain yang disebutkan: asana (cendana), wola (fafa), opi dan sulewe (semak kayu besi) dan Jati Dibagian Sampolawa Daratan Buton.
Hutan-hutan ini banyak dihuni oleh binatang-binatang seperti kerbau hutan, babi8, rusa dan anuang. Anuang / Anoa ini merupakan binatang khas Sulawesi. Disamping binatang-binatang disebutkan ada pula kus-kus sejenis kelinci yang dalam bahasa wolio disebut “kuse”, kusembu dan tongali. Sedangkan jenis burung-burung adalah: Halo, kea-kea, nuri, merpati dan sebagainya. Sebuah pulau melulu penghuninya bnurung-burung laut yaitu di kawi-kawia termasuk dalam kecamatan Binongko.
Kemudian di Daratan Pulau Buton pada pegunungan Samploawa dan lereng gunung kalende serta di kabongka terdapat aspal dan karena aspalnya Buton ini terkenal di dalam Nusantara Indonesia, malah sampai di luar negeri.
Rawa-Rawa pada umumnya hanya terdapat pada pinggiran pantai di nama tumbuh pohon-pohon bakau, tumbuhan tepi pantai pada umumnya.
Struktur pemerintahan kerja dapat dibagi sebagai berikut dibawah ini:
1. Syarana Wolio;
2. Syarana Barata; dan
3. Syarana Kadie.

Sebagai Pimpinan Kerajaan adalah Sultan dan di Barata oleh Lakina barata sedangkan Pimpinan Kadie adalah Bonto dan atau Bonto yang terakhir ini dalam arti sebagai “Pengawas” dan mengenai dasar dalam menjalankan pemerintahan adalah Murtabat tujuh sebagai Undang-Undang Kerajaan serta untuk Barata dengan syarana barata dan kadie dengan syarana kadie. Barata dan kadie merupakan bagian kerajaan dengan ketentuannya sendiri seperti tersebut di atas, sehingga merupakan daerah otonomi dari kerajaan. Keduanya berhak mengatur rumah tangganya sendiri. Barata ada 4 (empat) masing-masing:
1. Barata Wuna;
2. Barata Tiworo;
3. Barata Koloncusu; dan
4. barata Kaedupa.
Sedangkan kadie berjumlah seluruhnya 72 bagian dan ini lazim dengan sebutan “Pitu Pulu Rua Kadiena”. Dua bagian merupakan simbolis belaka pertanda adanya dua kaum yang memegang kendali pemerintahan kerajaan yaitu kaum bangsawan dan kaum walaka. Maka tinggallah 70 bagian untuk umum yang aktif.

(Penulis Abdul Mulku Zahari)